KRONOLOGI KRISIS MONETER TAHUN 1997 (BAG 3)

 RAPBN TERAKHIR ERA ORDE BARU YANG TIDAK REALISTIS

Sebelum membahas lebih lanjut, kita sedikit membahas apa itu RAPBN. Ini penting buat teman-teman yang belum tahu agar memahami artikel ini. Oke, RAPBN adalah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja. Jadi Indonesia di awal tahun sudah membuat rancangan anggaran, mulai berapa pendapatan yang akan diterima, dari mana saja pendapatannya hingga berapa uang yang akan dibelanjakan di tahun tersebut. Sudah paham garis besarnya, ya? Oke, kita lanjut dulu.

 Memasuki tahun 1998, Presiden Soeharto mengantarkan nota keuangan dan laporan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 1998/1999 di depan sidang pleno anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 6 Januari 1998. Dalam RAPBN itu, besar anggaran mencapai Rp 133,5 triliun. Tentunya, secara absolut ini mengalami kenaikan sebesar 32,1% dibandingkan dengan tahun lalu yang berjumlah Rp 101 triliun, tetapi secara riel menurun karena depresiasi rupiah. Pada RAPBN ini juga memproyeksikan pertumbuluhan adalah 4%, inflasi setahun 9%, dan nilai tukar dolar dipatok Rp 4.000,00 per dolar. Untuk pengeluaran rutin, subsidi bahan bakar minyak (BBM) diberikan sebesar Rp 10,1 triliun.

BACA JUGA : KRONOLOGI KRISIS MONETER TAHUN 1997 (BAG 1)

 Melihat anggaran yang dicanangkan pernerintah ini, Soeharto benar-benar membuat blunder. IMF sangat kecewa karena memandang RAPBN itu tidak realistis. Apalagi, dolar dipatok dengan asumsi Rp 4.000,00 per dolar. Terlebih, masih ada subsidi bahan bakar minyak mencapai Rp 10,1 triliun. Isu yang merebak dari surat kabar Amerika Serikat, The Washington Post (7 Januari 1998), menganggap bahwa pemerintah Indonesia tidak serius melakukan reformasi ekonomi. Mungkin, hal ini akan menyebabkan IMF menghentikan pencairan bantuan dana tahap kedua sebesar USD 3 miliar yang rencananya diberikan pada pertengahan Maret 1998. Dalam majalah Business Week pun disinggung tentang RAPBN ini: sangat optimistik sekaligus tidak realistik. Konsekuensinya, dampak RAPBN ini makin menjatuhkan rupiah; rakayt memborong sembako; rumor tentang kelaparan dan kerusuhan mulai merayap ke rakyat; dunia internasional terperangah, dan IMF mulai kehilangan kesabaran.

BACA JUGA : KRONOLOGI KRISIS MONETER TAHUN 1997 (BAG 2)

 Maka, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton mengutus Menkeu AS Lawrence Summers ke Indonesia. Summers datang ke Cendana pada 13 Januari 1998. Sebelum kehadiran Summers, hadir pula Wakil Direktur Pelaksana IMF, Stanley Fischer, di Cendana. Namun, bertolak-belakang dengan harapan Summers, Soeharto malah memberi kuliah tentang "Indonesia 101" yang berisi suksesnya ia membawa Indonesia dari negara miskin menjadi sebuah pusat manufacturing. Soeharto justru tak mau berbicara tentang masalah yang dihadapinya. Summers kecewa sekali. Akhirnya, IMF mengubah strategi dengan memaksa Soeharto menyetujui sebagian besar dari butir-butir persetujuan serta memberlakukan tenggat waktu.

 Hal ini direalisasikan selanjutnya dengan bos IMF, Michel Camdessus. Soeharto harus mematuhi dan menandatangani letter of intent (memorandum pernyataan niat) yang berisi 50 butir pernyataan penting, terutama merevisi RAPBN 1998/99. Inilah yang mengganjal IMF selama ini, sebagaimana diungkapkan oleh Camdessus. Dana pinjaman tahap awal sebesar USD 3 miliar diberikan pada Nopember 1997. IMF belum melihat sejauh mana usaha pemerintah menggunakan dana tersebut.

 

Presiden Soeharto tidak berdaya di depan Bos IMF. Presiden Soeharto, mau tidak mau, harus menandatangani perjanjian ini agar bantuan IMF bisa dikucurkan pada 1998.

Melihat gejala yang semakin memburuk ini, selain Bill Clinton, sederet pimpinan negara sahabat berusaha memberi pengertian lewat telepon pada Soeharto, seperti Kanselir Jerman Helmut Kohl, Perdana Menteri Jepang Ryutaro Hashimoto, dan Perdana Menteri Australia John Howard. Sementara itu, Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong dan Perdana Menteri Malaysla Mahathir Mohammad menyempatkan diri datang menemui Presiden Soeharto.

 Memang, setelah dicanangkannya RAPBN 1998/99, ditambah isu dan tekanan dari luar negeri, perekonomian pun semakin runtuh. Rupiah terus anjlok ke angka Rp 8.600 per dolar. Dan memasuki pertengahan bulan Januari 1998, sudah memasuki batas tragis: anjlok mencapai Rp 11.000 per dolar. Kondisi ini semakin membuat masyarakat percaya bahwa rupiah sudah benar-benar mencapai titik terendah sepanjang sejarah Orde Baru.

 Sejak diumumkannya RAPBN ini, misalnya, di bursa saham di Jakarta, terjadi aksi jual di kalangan para investor, sehingga harga saham turun sebesar 2,08%. Padahal, menurut keterangan Jasso Winarno dari Sigan Research Institute, mereka menikmati kenaikan indeks yang cukup membesarkan hati sejak 17 Desember 1997, yakni sebesar 41,61 titik atau 11,28%. Reaksi negatif di pasar saham ini timbul karena cemas terhadap RAPBN 1998/99 sebesar Rp 133,5 triliun yang tak akan mampu mengentaskan ekonomi Indonesia dari kemelut moneter.

 Masalah RAPBN 98/99 ini sempat disorot secara tajam oleh pengamat ekonomi dan politik Faisal Basri. Kenaikan anggaran yang mencapai 32%, menurut Faisal, sangat tidak realistis di tengah krisis yang terjadi. Semua pos anggaran naik. Namun, ironisnya, anggaran bidang hukum dan pengawasan justru mengalami penurunan. Dua persoalan yang sungguhnya sangat penting malah menjadi tidak penting dalam RAPBN ini. Dalam pos penerimaan, beban yang harus disetor rakyat melalui pajak pertambahan nilai (PPN) naik hingga 13 persen. Artinya, rakyat harus membayar pajak yang sama dengan Liem Sioe Liong. Sementara itu, pajak untuk orang-orang kaya melalui pajak penghasilan (PPh) diturunkan.

 Konyolnya, menurut Faisal, pos pengeluaran belanja barang dalam negeri mengalami kenaikan hingga 18 persen. lni sama sekali tidak mencerminkan penghematan. Jangan-jangan, kenaikan itu digunakan untuk membeli mobil Timor. Ia pun menyinggung soal rencana pemerintah yang akan melakukan reformasi ekonomi dan restrukturisasi sejak dulu serta juga apa yang diucapkan Pak Harto dalam RAPBN. Tetapi, semuanya itu tidak pernah menjadi kenyataan.

 Permasalahan yang terjadi tahun 1997 ini menurut pandangan Prof. Sumitro Djajahadikusumo pada pers, bukan lagi menyangkut moneter, bukan pula berkaitan dengan ekonomi masyarakat semata-mata, melainkan sudah berkaitan dengan krisis kepercayaan yang menghinggapi seluruh kehidupan masyarakat. Untuk itu, penanggulangan krisis kepercayaan serupa ini sudah menyangkut good governance yang mutlak harus mencakup transparansi, kepastian hukum, dan sosial kontrol yang efektif.

 (BERSAMBUNG)

 Dapatkan berbagai buku bekas berkualitas di www.mocobuku.store mulai dari komik, novel, buku sastra, sejarah buku politik dan masih banyak lagi.

BACA SELANJUTNYA : KRONOLOGI KRISIS MONETER TAHUN 1997 (BAG 4)

No comments:

Powered by Blogger.