KRONOLOGI KRISIS MONETER TAHUN 1997 (BAG 1)

AWAL KRISIS MONETER 

Pada awal 1997, pemerintah tetap percaya diri dengan kekuatan fundamental ekonomi Indonesia yang kukuh, dibangun selama 30 tahun, enam kali Pelita. Maka, saat itu, walau mata uang di berbagai negara Asia seperti Bhat (thailand), Won (Korea Selatan), Ringgit (Malaysia) dan Peso (Filipina) mengalamai depresiasi karena ulah spekulan, pemerintah Indonesia masih tenang-tenang saja, belum terusik, dan tetap optimis bahwa krisis itu tidak akan melanda Indonesia.

 Di tengah ketenangan dan percaya diri itu, bulan berganti bulan, Januari, Februari, Maret, April, Mei, sampai Juni masih belum terasa ada kelainan, walau beberapa negara Asia mulai kelimpungan. Namun tiba-tiba pada awal Juli 1997, pemerintah mulai merasakan ada sesuatu yang lain pada dirinya. Tubuh moneter terasa meriang. Menko Ekkuwasbang, Saleh Afif, mencoba mengantisipasi dengan mengumumkan deregulasi sektor riel yang ditujukan untuk mendongkrak transaksi bisnis pengusaha kecil dan menengah. Kemudian, Bank Indonesia (BI) melebarkan kurs intervensi dari 8% menjadi 12%. Hal ini dilakukan karena rupiah pun mulai terganggu. Namun, tindakan ini tidak mampu menahan gerak para spekulan yang mengusik-usik rupiah. Rupiah bergerak turun dari Rp 2.450,00 menjadi Rp 2.500,00 sampai akhir bulan Juli. Sekali lagi, hal yang santer diembuskan pada bulan ini adalah bahwa penyebab merosotnya rupiah terhadap dolar adalah akibat tingkah polah para spekulan.

 Melihat gejala yang tidak sehat ini, pada pertengahan bulan Agustus 1997, Bank Indonesia terus melakukan intervensi kurs dengan asumsi agar cadangan devisa yang ada, yang mencapai USD 21 miliar, dapat terjaga dan nilai rupiah tetap tertahan. Namun, dalam kenyataannya, rupiah tetap saja merosot mencapai angka Rp 2.650,00 per dolar. Menyadari gejala aneh ini, pemerintah menerapkan sistem nilai tukar mengambang. Tetapi, langkah ini pun tak juga mampu mengendalikan merosotnya nilai rupiah. Dampak krisis bulan Juli saja sudah mulai terasa. Penduduk di beberapa desa di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah mulai mengalami rawan pangan dan tak lagi mampu memperoleh beras. Masyarakat di daerah ini mulai memakan gaplek sebagai makanan utama.

 


Demikian juga di awal September, pemerintah membuka batasan kepemilikan saham asing di pasar modal, dari 49% menjadi 100%. Hal ini dilakukan untuk menghemat dan mengumpulkan devisa, serta juga mengingat nilai rupiah terhadap dolar terus merosot, di mana pada bulan Juni ini nilai rupiah bergerak turun, sudah menembus angka psikologis Rp 3.219,00 per dolar. Mengingat hal itu, pemerintah merevisi sejumlah mega proyek senilai Rp 106 triliun, antara lain Menara Jakarta, Jembatan Jawa-Sumatera dan Jembatan Indonesia-Malaysia, serta proyek terminal terpadu Manggarai. Hal ini dilakukan mengingat pemerintah sedang mengalami kesulitan lukiditas. Krisis di bulan ini diperparah oleh dampak musim kemarau panjang yang memprihatinkan. Di Irian Jaya (Jayawijaya, Merauke, dan Puncakwijaya) sekitar 90.000 orang kelaparan, tak mampu lagi memperoleh makanan, dan 500 orang tewas akibat kelaparan.

 Pada awal Oktober 1997, pemerintah mulai menyadari bahwa penyakitnya semakin kronis, nilai rupiah kembali merosot tajam mencapai angka Rp 3.900,00 per dolar. Melihat gejala ini, mau tak mau, diperlukan obat yang dapat menangkal penyakit yang sulit disembuhkan ini. Maka, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia diminta membantu menyembuhkan penyakit yang mulai parah ini. Di samping itu, Presiden Soeharto kembali meminta penasihat ekonomi pemerintah, Widjojo Nitisastro, untuk dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam memulihkan kondisi moneter yang mulai sulit. Melihat gejala krisis moneter yang mulai memburuk, pada akhir bulan ini terjadi pula pembelian dolar untuk mengatasi pembayaran utang swasta. Bulan ini pun ditandai dengan kasus rawan pangan di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Penduduk sudah beralih makan rumput babi dan batang pisang. Demikian pula yang terjadi di Kabupaten Manggarai, Flores. Hal serupa terjadi juga di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat kesulitan memperoleh makanan pokoknya, yakni jagung. Rawan pangan bulan ini pun terjadi di Kabupaten Donggala, Sulawesi Selatan. Hampr 2000 penduduk terancam kelaparan dan 12 orang mati karena kelaparan.

 Kemudian, pada awal Nopember 1997, atas saran IMF untuk mengatasi krisis moneter ini, Departemen Keuangan harus menutup bank yang tidak sehat lagi. Munculah kebijakan pemerintah melikuidasi atau mencabut izin usaha 16 bank swasta. Dua bank diantaranya adalah milik keluarga Soeharto; Bank Andromeda milik Bambang Trihatmodjo dan Bank Jakarta milik Probosutedjo. Melihat gelagat ini, masyarakat mulai ikut merasakan krisis moneter, terlebih lagi bagi mereka yang menabung dan mendepositokan uangnya di bank-bank yang terlikuidasi. Mereka panik karena uangnya tidak dapat diambil, sementara otoritas moneter belum mengeluarkan jaminan atas simpanan para nasabah. Maka, rush mulai menjalar di dunia perbankan. Bank-bank yang tadinya segar bugar mulai tertular penyakit krisis moneter. Pada mulanya, rupiah menguat mencapai Rp 3.250,00 per dolar, tetapi hanya beberapa saat. Rupiah kembali terpuruk mencapai Rp 4.000,00 per dolar.

 Pemerintah sudah mulai kelimpungan. Penyakit yang dirasakan semakin kronis. Maka pada tanggal 5 Nopember 1997, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan IMF, menyusul akan dikucurkannya bantuan (baca:pinjaman) yang disiapkan sebesar USD 43 miliar selama tiga tahun dengan syarat bahwa pemerintah harus mereformasi lembaga keuangan dan industri. Di antara kesepakatan dengan IMF adalah menyangkut monopoli Badan Urusan Logistik (BULOG) atas impor sejumlah komoditi seperti beras, kedelai dan bawang putih, yang harus berakhir mulai 1 Januari 1998.

 Pada tahap awal, dana yang akan dikucurkan oleh IMF sebesar USD 3 miliar. Dana ini digunakan untuk menstabilkan nilai rupiah. Ternyata hal ini cukup memberi pengaruh; rupiah sedikit menguat mencapai Rp 3.500 per dolar, tetapi kondisi utang pemerintah dan swasta mulai memburuk. Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad, pada pertengahan bulan Nopember, mengumumkan bahwa utang luar negeri swasta hingga bulan September 1997 mencapai USD 65 miliar dan utang pemerintah sendiri lebih kecil, hanya USD 52,3 miliar. Utang ini mulai dirasakan cukup berat karena merosotnya nilai rupiah. Dalam mengatasi pembayaran bunga dan cicilan utang yang membengkak ini, mau tak mau, harus ada penundaan pembayaran utang atau dilakukan roll over (penjadwalan kembali).

 Pada bulan Nopember 1997 ini pun terjadi kasus-kasus rawan pangan di beberapa daerah. Penduduk Grobogan dan Boyolali, Jawa Tengah, sudah beralih makan thiwul karena sudaj tidak lagi memperoleh beras. Kemudian, di wilayah Palembang (Sumatera Selatan), rawan pangan telah mengancam 76.455 jiwa yang tersebar di daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu, Muaraenim, dan Musibanyuasin. Demikian pula di Pulau Atauro Timor Timur, seluruh penduduk di pulai kecil ini sudah tidak memperoleh makanan pokok seperti beras, jagung atau ubi. Mereka menyantap buah siwalan dan uah-buahan hutan lainnya.

 Namun, lagi-lagi, di awal Desember 1997 masalah menimpa Indonesia. Perjalanan Presiden Soeharto keliling ke luar negeri sejak 18 Nopember 1997, dari Eropa, Afrika, dan diakhiri umroh ke Araba Saudi, memaksa dirinya harus beristirahat untuk menjaga kesehatannya. Berdasarkan nasehat tim dokter kepresidenan, Presiden Soeharto hendaknya beristirahat selama 10 hari. Hal ini diumumkan oleh Mensesneg Moerdiono. Namun, rumor dan isu berkembang di masyarakat. Dikabarkan bahwa Pak Harto bukan istirahat, tetapi mengidap stroke. Ada pula isu yang berkembang bahwa Pak Harto ada di rumah tahanan militer. Bahkan dikabarkan bahwa Presiden Soeharto telah meninggal dunia.

 Akibat isu-isu ini, pada pertengahan Desember 1997, rupiah kembali merosot drastis sekaligus menembus angka fenomenal Rp 5.250,00 per dolar. Bahkan, yang membuat bangsa Indonesia sangat prihatin, rupiah telah menembus angka historis Rp 6.000,00 per dolar.

 Dalam kondisi seperti ini, terjadi pula kasus-kasus rawan pangan. Kelaparan terjadi di Maluku, meliputi 104 desa dari 17 kecamatan, mencapai 33.817 jiwa yang terancam kelaparan. Masyarakat sudah sulit memperoleh makanan pokok.

 Melihat krisis yang tidak menyenangkan ini, Presiden Soeharto secara mendadak sempat mengundang para konglomerat sebanyak 71 orang. Namun yang hadir hanya 56 orang. Di antaranya adalah Sudono Salim (Liem Sioe Liong), Ciputra, Mochtar Riady, Prajogo Pangestu, Eka Tjipta Widjaja, Sofjan Wanandi, Usman Admajaya, Hartati Murdaya, Marimutu Sinivasan, Anthony Salim, dan tak ketinggalan Siti Hardiyanti Rukmana, Hutomo Mandala Putra, Siti Hediati Prabowo, dan banyak lagi. Sementara itu, yang tidak hadir mencapai 15 orang. Diantaranya adalah Probosutedjo, Bob Hasan, Hasyim Djojohadikusumo, dan lain-lain.

 Dalam pertemuan ini, Pak Harto berusaha menjelaskan ihwal kesehatannya berkenaan dengan isu yang berkembang di luar. Pak Harto pada saat itu berharap para konglomerat ikut membantu mengatasi krisis ini.

 Soeharto menilai bahwa terjadinya krisis ini disebabkan oleh melemahnya rupiah. Namun, melemahnya rupiah ini dipacu oleh hal-hal yang tidak masuk akal, terlebih dihubung-hubungkan dengan kesehatannya. Untuk itu, Pak Harto berkesimpulan bahwa tampaknya ada dua kepentingan yang berpadu. Mereka adalah para spekulan valuta asing yang murni mencari untung dari pergerakan rupiah terhadap dolar, dan mereka yang mempunyai kepentingan politik.

 Namun, di samping reaksi terhadap krisis, dalam pertemuan itu Pak harto mengeluarkan gagasan untuk menepis krisis moneter ini. Ia mengusulkan agar pemerintah menerbitkan bank notes dalam dolar. Kebijakan ini, menurut Pak Harto, bisa mengurangi minat pemilik dolar untuk menyimpannya di luar negeri, sehingga menambah pasokan dolar di dalam negeri.

 Setelah adanya pertemuan Presiden Soeharto dan para konglomerat itu, ditambah gagasan Soeharto tadi, nilai rupiah kembali menguat beberapa saat, namun kemudian kembali menurun. Dari Rp 5.200,00 per dolar menjadi Rp 5.400,00 per dolar, hingga kemudian menjadi Rp 5.500,00 per dolar.

 Menanggapi gagasan Pak Harto tentang bank notes ini, pengamat ekonomi Sri Mulyani Indrawati menilai, di saat “rating” yang kurang baik terhadap Indonesia sekarang ini, diterbitkannya bnk notes akan menyebabkan Bank Indonesia (BI) membayar kewajiban lebih mahal terhadap surat utang yang harus dikeluarkan. Dalam jangka panjang, efek kumulatifnya akan menjadi beban cukup berat bagi perekonomian nasional.

 Sementara itu, pengamat pasar uang Theo F. Toemion, pemerintah seharusnya cepat melakukan kebijakan pengontrolan pertukaran mata uang dengan mengontrol pembelian dolar. Jika nilai rupiah terus anjlok, pemerintah bisa melakukan suspend, atau penghentian sementara pembelian dolar. Karena boleh dikatakan, pemerintah selama ini belum pernah melakukan suspend. Menurut Theo, hal itu dilakukan setelah Indonesia menganut sistem kurs free float (mengambang bebas).

 Berita-berita mengenai front fundamental dan teknis psikologis mempunyai bobot tersendiri yang berdampak pada nilai rupiah. Misalnya saja, ketika ada isu mengenai kesehatan presiden, yang mengakibatkan rupiah terpuruk. Di tengah anjloknya rupiah, menurut Theo, akan ada pihak yang mengambil untung. Ini akan mengakibatkan kepanikan di masyarakat sehingga kondisi di luar kontrol. Cara mengatasinya adalah melakukan penghentian pembelian dolar (suspend). Hal ini sudah banyak dilakukan di berbagai negara. Untuk itu, apa artinya kebijakan yang bebas tapi tidak bisa mengatur outflow? Apa tabunya pemerintah melakukan kontrol kalau keadaannya sudah seperti ini? Demikianlah gagasan Theo dalam mengatasi kemerosotan rupiah yang sudah kelewatan. Tetapi apa yang dilakukan pemerintah?

 Pada bulan Desember 1997 ini juga pemerintah melakukan antisipasi dalam menghadapi bulan suci Ramadhan yang bertepatan dengan Natal dan Tahun Baru. Sidang kabinet terbatas para menteri bidang ekonomi dan industri melakukan pembenahan dan antisipasi gejolak fluktuasi harga, terutama sembako. Sejak merosotnya rupiah, kenaikan harga beras, palawija, sayuran, minyak goreng dan lainnya mulai terjadi. Salah satu intervensi pemerintah adalah pelarangan sementara ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO.

 Pada 20 Desember 1997, Presiden Soeharto mengeluarkan keputusan yang isinya memberhentikan dengan hormat empat direktur Bank Indonesia : Hendrobudiyanto, Masjrudin Nurdin, Heru Soepraptomo, dan Paul Soetopo Tjokronegoro. Pemberhentian empat direktur BI ini tidak lepas dari isu-isu yang berkembang. Ada yang mengkaitkannya dengan ketidakmampuan mereka mengatasi krisis moneter. Sebab, tiga diantara mereka adalah bagian operasi pengendali moneter. Ada juga isu kolusi dan berbagai isu lain yang tidak mengenakkan.

 (BERSAMBUNG)

Dapatkan berbagai buku bekas berkualitas di www.mocobuku.store mulai dari komik, novel, buku sastra, sejarah buku politik dan masih banyak lagi.

 BACA JUGA : KRONOLOGI KRISIS MONETER TAHUN 1997 (BAG 2)

No comments:

Powered by Blogger.