JULES VERNE PENULIS GENRE SCIENCE FICTION PERTAMA DI DUNIA

 Jules Verne sering disebut sebagai Bapak Science Fiction. Namun, Jules Verne sendiri bukan hanya seorang penulis fiksi, tapi ia juga seorang penyair dan dramawan. Karya-karya besarnya yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di antaranya adalah Journey To The Center of The Earth, Twenty Thousand Leagues Under the Sea, Around The World ln Eighty Days, dan From The Earth to The Moon.

 

Jules Verne lahir di Nantes, sebuah kota pelabuhan Perancis pada 8 Februari 1828. Jules Verne hidup dalam sebuah keluarga yang cukup kaya dan terpandang, dengan ayahnya, Pierre Verne, yang bekerja sebagai seorang pengacara. Ayahnya ingin Jules Verne mengikuti jejaknya sebagai pengacara, namun di awal karirnya, Jules lebih memilih berhenti total dan menjadi penulis drama dan majalah.

 Lingkungan Yang Mendukung

Sejak kecil, lingkungan Jules sangat mewarnai plkirannya sehingga penuh dengan ide-ide petualangan. Rumahnya dulu terletak di sebuah pulau buatan di tengah sungai Loire, Nantes, dan memungkinkan Jules untuk setiap hari melihat berbagal jenis kapal niaga dan militer berlalu-lalang di sungai tersebut. Lalu pada usia enam tahun, Jules masuk sekolah asrama di Nantes. Gurunya waktu itu adalah Mademoiselle Sambin, yang suaminya – seorang kapten angkatan laut - dikabarkan hilang 30 tahun sebelumnya. Sambin acapkali bercerita kepada murid-muridnya termasuk Jules, bahwa suaminya suatu hari nanti pasti akan pulang, sama seperti kisah Robinson Crusoe (Daniel Defoe). Kata-kata gurunya itulah yang akhirnya mengilhami Jules kelak menulis The Mysterious Island, Second Fatherland dan The School for Robinsons.

 Banyak yang mengatakan, ketika Jules Verne berusia 11 tahun, ia pernah menawarkan dirinya untuk bekerja sebagai "anak geladak” (kelasi junior) di kapal layar bertiang tiga, Coralie. Maksud sesungguhnya sederhana saja: ia ingin berkelana ke Hindia Barat untuk membawakan Caroline, sepupunya, seuntai kalung koral. Sore itu, Coralie siap berlayar ke laut lepas menuju Hindia Barat, dan terakhir kalinya berhenti di Paimboeuf. Saat berhenti itulah, Pierre ayahnya, berhasil mengejar Coralie dan menyuruh Jules Verne pulang ke rumah. Pierre kemudian minta ke Jules untuk berjanji bahwa selanjutnya ia hanya boleh bertualang “dalam imajinasinya saja.

 Jules Verne menyerap apa saja yang didapat, didengar dan dilihat di lingkungannya, lalu menjadikan informasi itu sebagai ide-ide segar untuk karya-karyanya. Hal ini sudah terjadi sejak masa-masa ia bersekolah, seperti di SD di Nantes tadi. Lalu ketika Jules Verne masuk Petit Seminaire de Saint-Donatien (Seminari Menengah Saint Donatien), ia menulis novel yang tak pernah diselesaikannya, berjudul Un Pretre en 1839 (A Priest in 1839). Sebuah kisah kehidupan seminaris yang bernada humor. Karya-karya Victor Hugo (penulis Les Miserables) pun banyak mempengaruhi tulisan-tulisan awal Jules Verne.

 Ayah Jules sejak awal sudah tahu bahwa menjadi penulis tidak akan mendatangkan keuntungan finansial apa pun bagi puteranya. Tahun 1847, Jules Verne dikirim ayahnya untuk masuk sekolah Hukum di Paris dan nantinya membuka praktik sebagai pengacara di sana. Sekali lagi, kehidupan di Paris mempengaruhi imajinasinya akan petualangan. Jules tiba di Paris bertepatan saat suhu politik meningkat, yakni ketika Revolusi Perancis 1848. la mengalami hari-hari penuh dengan demonstrasi massa yang menentang monarki, dan berakhir dengan barikade masyarakat Paris di segala penjuru kota. Pemerintahan saat itu bermaksud menghancurkan semua barikade itu dengau kekerasan (kejadian ini kemudian diadaptasi dalam kisah Les Miserables dari Victor Hugo). Jules pun sempat menyaksikan ketika Napoleon Bonaparte terpilih menjadi Presiden pertama Republik Perancis yang baru.

 Belajar di sekolah Hukum ternyata sama sekali tidak menyurutkan niat Jules Verne untuk tetap menulis. Jules bahkan pernah mengatakan, "Aku benar-benar dipengaruhi gaya Victor Hugo. Aku bahkan bisa menceritakan kembali lembar demi lembar bukunya, Notre Dame de Paris. Namun, sebenarnya, karya-karya dramatisnyalah yang paling mempengaruhiku. Jules pun akhirnya lulus dari sekolah hukum dan mendapatkan sertifikat untuk dapat bekerja sebagai pengacara.

 Ketika menuntut ilmu di Paris, paman Jules, Francisque de Chateaubourg, memperkenalkannya ke Literary Salon, semacam komunitas para penulis saat itu. Aktivitas Jules di Literary Salon inilah yang kemudian membukakan jalan baginya untuk menjadi penulis yang sangat berpengaruh, bukan hanya di Perancis, melainkan juga di Eropa, bahkan dunia. Di Literary Salon inilah, Jules Verne berkenalan dengart Alexandre Dumas (The Three Musketeers) dan bersahabat baik dengan puteranya. Kedua anak muda ini kemudian menggarap naskah-naskah drama Alexandre Dumas, sampai kemudian dipentaskan di Theatre Historique, Paris.

 Tahun 1851, Jules Verne berkenalan dengan sesama penulis dari kampung halamannya di Nantes, Pierre-Michel-Francois Chevalier (Pitre Chevalier), yang bekerja sebagai Kepala Editor di majalah Musee des Familles (The Family Museum). Jules menawarkan naskah cerita pendek historikalnya, The First Ships of the Mexican Navy, dan disusul di tahun yang sama dengan A Voyage in a Balloon. Keduanya berturut-turut dlterbitkan oleh Chevalier di dalam majalahnya. Pada tahap inilah mulai terlihat bagaimana detilnya seorang Jules Verne dalam menulis sebuah kisah petualangan. Walaupun fiktif, namun Jules tetap memakai data-data yang bersumber dari informasi nyata di zamannya.

 Saat-saat itulah, ayahnya, Pierre Verne, kembali memaksa Jules untuk berkonsentrasi pada profesinya sebagai seorang ahli hukum. Namun, kembali Jules berkeras bahwa ia pun bisa menghasilkan uang dari menulis. Ketika konflik minat antara ayah dan anak ini semakin meruncing,  Jules pun memutuskan meninggalkan kehidupannya sebagai seorang pengacara dan mencurahkan seluruh waktu, untuk menjadi penulis.

 Pada tahun 1905, Jules yang menderita sakit diabetes, wafat di rumahnya di Longuville (saat ini, jalan di mana ia wafat dinamai Jalan Jules Verne) dan meninggalkan warisan kisah-kisah yang selalu menarik untuk dinikmati pembaca dari masa-masa jauh setelah zaman hidupnya sendiri.

 Prediksi Masa Depan?

Dua karya warisan Jules Verne yang paling fenomenal adalah Twenty Thousand Leagues Under the Sea dan Journey to the Center of the Earth, dua novel yang mengetengahkan tema "turunatau masuk" ke kedalaman bumi, entah itu di laut atau di darat.

 


Dalam 60.000 Mil di Bawah Laut (20.000 leagues kurang lebih setara dengan 60.000 mil), kita akan mengikuti petualangan Kapten Nemo dengan kapal selam Nautilus yang kecanggihannya jauh sekali melampaui zaman Jules Verne hidup saat itu. Jika kita pernah membaca Around the World in Eighty Days, maka peran utama Philleas Fogg akan kurang lebih sama dengan Nemo di Nautilus, yang juga mengelilingi dunia melalul lautan. Bedanya mungkin adalah peran yang diemban kedua tokoh tersebut, di mana Philleas Fogg berkeliling dunia karena ikatan perjanjian dalam sebuah pertaruhan, sementara Nemo lebih ke arah "playing God seorang dengan latar belakang yang tidak jelas, namun memiliki kekuasaan (power) sedemikian besar-melalui Nautilus untuk melakukan apa pun yang dia inginkan, termasuk dalam hal kemanusiaan.

 Keberadaan Nautilus sendiri, sebuah kapal selam besar dan kuat dengan berkemampuan untuk berlayar terus menerus tanpa henti, akan dengan mudah membuat kita pada zaman sekarang teringat pada kapal-kapal selam militer bertenaga nuklir. Tenaga nuklir memungkinkan kapal selam (dan kapal induk) beroperasi dengan nyaris tak ada batas waktunya. Satu-satunya yang membatasi mereka hanya masalah suplai bahan makanan dan perbekalan lainnya. Kapal-kapal selam modern pun juga dilengkapi dengan palka khusus untuk tempat keluar masuk awak, dan biasanya digunakan untuk menyusupkan pasukan khusus secara rahasia di bawah permukaan air. Apa yang dapat dilakukan kapal selam modern, dapat dilakukan pula oleh Nautilus!

 Kemudian dalam Perjalanan ke Pusat Bumi, sejak zaman dahulu, orang sudah mulai percaya atau setidaknya tertarik dengan teo hollow earth, atau bumi yang "berlubang.” Kurang lebih teori itu mengatakan bahwa di bagian dalam bumi, pada lapisan ke sekian, ada sebuah rongga yang sangat besar dan diisi juga oleh kehidupan, dalam habitat khususnya sendiri. Dalam kisah ini, Jules Verne menggambarkan "hollow earth, dengan prinsip yang sangat jelas yakni untuk masuk ke dalam dunia lain di bawah kulit bumi, orang harus turun sangat dalam melalui lapisan-lapisan kulit bumi, lebih jauh dari para petambang-petambang yang mencari mineral-mineral di kedalaman.

 Dalam novelnya yang lain, From the Earth to the Moon, jauh sebelum era luar angkasa dimulai di Amerika dan Russia, Jules Verne telah mematrikan sebuah prinsip penting dalam penerbangan luar angkasa: untuk lepas dari pengaruh gravitasi bumi, sebuah benda harus berada pada kecepatan tertentu yang sangat tinggi. Prinsip itu terlihat dalam cara peluncuran kapsul yang membawa tiga manusia ke bulan, dengan ditembakkan oleh sebuah meriam raksasa. Ini adalah prinsip roket di zaman modern, di mana roket harus diberi tenaga pendorong yang sangat besar, sehingga mampu melesat dengan kecepatan tinggi dan lepas dari gravitasi bumi.

 Semua prinsip dalam novel Jules Verne disertai juga dengan pemakaian informasi sains dan teknologi yang ada pada saat itu, sehingga salah satu ciri dari novel-novel Jules Verne adalah: meski semua fiksi ilmiah, namun kita tetap merasakan adanya esensi realita (dan mungkin lebih jauh lagi, kebenaran) dari kisah-kisahnya.

No comments:

Powered by Blogger.