KRONOLOGI KRISIS MONETER TAHUN 1997 (BAG 2)

 Tahun Paling Suram Moneter Indonesia

Dilihat dari keseluruhan peristiwa, perekonomian selama tahun 1997 ini benar-benar merupakan pukulan berat bagi bangsa Indonesia. Terlebih lagl, musim kernarau, paceklik, dan kebakaran hutan berkepanjangan. Terjadi kerusuhan dan tragedi-tragedi lainnya. Indonesia benar-benar telah memasuki era paling suram dalam perekonomiannya. Hal ini disadari oleh Menteri Keuangan saat itu, Marie Muhammad, ketika berbicara di Asia Society Conference di New York, pada bulan Desember 1997. Ia menilai bahwa faktor-faktor pemicu krisis ekonomi ini disebabkan oleh krisis kepercayaan, tidak konsistennya kebijakan, kurang konsistennya reformasi ekonomi, kurangnya transparansi, rentannya sektor keuangan, utang luar negeri membesar, lemahnya fundamentaI ekonomi perusahaan, lemahnya kepercayaan dalam negeri, pengaruh globalisasi, dominasi kekuatan pasar, dan kecemasan para investor.

Sementara itu, Kwik Kian Gie menilai bahwa sisi lain penyebab krisis ini adalah soal modal asing. Itu sudah berlangsung sejak Orde Baru berdiri. Hidup kita bergantung pada pemasukan aliran modal asing. Kendati kita mengalami defisit transaksi berjalan, kita masih terus bersyukur bahwa modal asing masih mengalir masuk. Tetapi, sekarang, seandainya dari utang swasta itu diambil alih asetnya oleh kreditor asing, itu artinya perusahaan swasta beralih ke tangan a sing. Jadi, kita tidak perlu berteriak soal kolonisasi. Kita sendin yang mengundang modal asing masuk. Kwik menambahkan, utang swasta yang mencapai US$ 65 miliar ini sulit dilacak, apalagi masuknya melalui beragam cara.

 Tahun 1997 ini memang benar-benar tahun sangat rumit yang dihadapi pemerintah Orde Baru. Krisis moneter yang menerpa bangsa Indonesia ini mulai diisi dengan peristiwa-peristiwa kerusuhan di beberapa daerah. Karena itu, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, Donald K. Emmerson, menilai bahwa krisis 1997 ini terjadi disertai dengan ketidakpastian politik, khususnya suksesi. Karena hal terakhir inilah kepercayaan pada rupiah dan bursa saham belum tentu akan tumbuh kembali selama stabilitas dan keseimbangan politik Orde Baru masih terus dipertanyakan. Krisis ekonomi yang sedang dialami Indonesia bersumber pada dari masalah politik, yakni corak otoriter sistem pemerintahan Orde Baru. Umumnya, menurut Donald, di mata kaum pengamat Amerika, demokrasi mau tak mau harus dijadikan prasyarat bagi proses pemulihan ekonomi.

 Kemudian, ilmuwan politik asal Australia, Andrew Macintyre menilai apa yang dikatakan Donald tentang demokratisasi sebagai sebuah jawaban, Andrew menolaknya. Hal ini dapat dilihat dari kasus Thalland. Demokrasi tak memberikan jalan keluar yang ampuh bagi penyelesaian krisis. Yang lebih penting lagi, proses transformasi politik tak terjadi dalam semalam.

 Jika Indonesia ingin memiliki pemerintahan yang demokratis, beberapa hal mendasar harus diubah. Selain itu, hubungan antara berbagai lembaga utama seperti presiden, parlemen, ABRI, dan Golkar, juga harus direformasi.

 

Rakyat berebut membeli sembako yang sudah mulai menghilang.

Semua perubahan ini, menurutnya, bukanlah hal yang mudah. Dalam perumusannya, para wakil rakyat harus terlibat. Demokrasi tak bisa diputuskan hanya oleh segelintir elite di Jakarta. Semua aktor yang mewakili golongan penting harus ikut berpartisipasi dalam proses transformasi politik ini.

 Jadi, menurutnya, demokratisasi bukanlah sebuah proses yang sederhana. Dalam membuat kerangka konstitusi yang baru, misalnya, dIbutuhkan waktu yang cukup panjang dan perdebatan yang bertele-tele. Dalam jangka pendek, semuanya ini akan menciptakan ketidakpastian. Karena itu, demokratisasi politik bukanlah sebuah langkah yang tepat di tengah-tengah krisis ekonomi seperti ini. Yang paling dibutuhkan Indonesia adalah pemerintahan yang stabil dan terpercaya (credible). Tanpa hal ini, baik investor maupun rakyat pada umumnya tak akan lagi percaya kepada pemerintah. Tanpa kepercayaaan ini, pemerintah tak mungkin melakukan stabilisasi ekonomi.

 Prof Dr. Emil Salim juga mempunyai pendapat yang senada. Faktor politik domestiklah yang memberi beban begitu berat terhadap krisis ini, sehingga respon di sektor bisnis jadi terganggu. Emil memberikan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menghadapi krisis ekonomi ini: Pertama, harus ada kebijakan makro bagaimana agar perbankan mendorong usaha pembangunan. Kedua, juga harus ada kebijakan mikro agar perusahaan itu efektif, efisien, dan produktif. Ketiga, diusahakan agar struktur dan mekanisme pasar (market) dibebaskan dari semua hambatan monopoli, masalah domestik dan masalah yang macam-macam itu. Keempat, diupayakan agar seluruh kesatuan dari pemerintahan pusat, daerah, dan masyarakat diajak untuk menghadapi gejolak ini.

 Gejala yang memburuk ini sebenarnya jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Di Indonesia sudah terjadi kesenjangan antara keadaan dan kebijakan ekonomi makro di satu pihak  dan perimbangan di bidang mikro di pihak lain, termasuk sektor perbankan.

 Sumitro menguraikan bahwa kebijakan makro yang berkisar pada pengelolaan permintaan agregatif dapat dikatakan sudah tepat. Sebaliknya, secara mikro, dalam tubuh ekonomi nasional sejak beberapa tahun lalu telah melekat serangkaian penyakit berupa berbagai distorsi ekonomi yang bersifat proteksi yang berlebihan, pungli-pungli yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, monopoli yang merugikan ekonomi rakyat, kolusi, korupsi, dan sebagainya.

 Untuk menanggulangi kondisi yang mulai memburuk ini akibat dampak krisis yang terjadi di berbagai negara di Asia, Sumitro menganjurkan agar  dlikasanakan secara konsisten dan konsekuen reformasi, deregulasi, dan penyesuaian struktural di sektor keuangan moneter dan terutama di sektor riel. Kalau itu dilaksanakan, dalam dua hingga tiga tahun mendatang, ekonomi kita dipulihkan ke jurusan yang lebih baik.

 Bagaimana sikap pemerintah menghadapi permasalahan krisis yang sudah kronis ini? Justru, menurut Direktur Pusat Studi dan Khasanah Ilmu-ilmu Islam, Alumnus Vienna University of Technology Austria, Fahmi Amhar, di tangah dari ekspor menurun, sementara bunga utang harus terus dibayar, utang baru justru terus diupayakan. Maka, tahun 1997, utang totaI mencapai USD 143 miliar ditambah lagi dengan kondisi sikap pemerintah yang telah mentradisi: menunda-nunda dalam berpikir, maupun bertindak. Jangankan dapat menyiapkanan strategi untuk mengatasi utang, untuk membicarakannya pun selama ini menjadi tabu. Orang justru cenderung mempertahankan “tradisi dan status punya utang," karena yang demikian itu dianggap sebagai orang yang berani, kredibel, dan bisa dipercaya.

 Namun, fakta di pasar uang internasional berbicara lain. Sementara itu, kondisi masa depan politik yang tidak pasti memnbuat gerah pelaku bisnis asing yang punya tagihan utang di Indonesia. Maka, permintaan dolar atau penawaran rupiah untuk membayar tagihan pun naik. Dan karena lebih banyak penawaran daripada kesediaan orang membelinya, maka kurs rupiah terhadap dolar pun anjlok. Keadaan ini diperparah lagi oleh spekulan valas yang menahan dolar atau mengenakan bunga tinggi bagi peminjamnya. Otomatis, nilai rupiah terjun bebas.

 Demikianlah, tahun 1997 merupakan tahun yang sangat memprihatinkan sepanjang pemerintahan Orde Baru. Tahun penutup Pelita keenam ini benar-benar memporak-porandakan pembangunan yang telah dirintis selama 30 tahun lebih. Di tahun 1997, kita memasuki masa paling suram dalam perekonomian lndonesia.

 (BERSAMBUNG)

 Dapatkan berbagai buku bekas berkualitas di www.mocobuku.store mulai dari komik, novel, buku sastra, sejarah buku politik dan masih banyak lagi.

BACA JUGA : KRONOLOGI KRISIS MONETER TAHUN 1997 (BAG 3)

No comments:

Powered by Blogger.